![]() |
Diskon Tarif Listrik Diusulkan untuk Pelanggan 2.200 VA hingga PPN Dipangkas Jadi 9%. |
Jakarta – Pemerintah tengah menyiapkan enam skema insentif yang rencananya akan diluncurkan pada 5 Juni 2025, termasuk potongan tarif listrik hingga 50%. Kebijakan ini ditujukan untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi tetap di kisaran 5% dengan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat.
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyambut baik keberlanjutan potongan tarif listrik tersebut, namun menilai bahwa cakupannya perlu diperluas agar manfaatnya lebih merata.
“Langkah pemberian diskon tarif listrik patut diapresiasi, tetapi sebaiknya juga mencakup pelanggan dengan daya hingga 2.200 VA, bukan hanya yang di bawah 1.300 VA,” ujarnya pada Minggu (25/5/2025).
Diskon Listrik Perlu Menjangkau Lebih Banyak Masyarakat
Bhima menilai bahwa pelanggan 2.200 VA, seperti rumah kontrakan dan tempat kos karyawan, merupakan bagian dari kelas menengah yang juga memerlukan dukungan fiskal. Pemerintah diketahui menargetkan 79,3 juta pelanggan listrik rumah tangga dengan daya di bawah 1.300 VA untuk menerima diskon tarif listrik 50% selama Juni hingga Juli 2025.
Usulan Penurunan PPN
Selain insentif listrik, Bhima juga menyarankan agar tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diturunkan dari 11% menjadi 9%. Menurutnya, penurunan ini bisa memberi ruang konsumsi lebih luas bagi masyarakat dan berpotensi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Meski tarif PPN lebih rendah, Bhima meyakini penerimaan negara tetap dapat terjaga karena konsumsi yang meningkat akan berdampak pada naiknya penerimaan dari pajak penghasilan badan maupun PPh 21.
“Sektor industri manufaktur yang berfokus pada pasar domestik akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini,” jelas Bhima, seraya menambahkan bahwa kontribusi industri pengolahan menyumbang sekitar 25% dari total penerimaan pajak nasional.
Dia juga mencontohkan beberapa negara seperti Vietnam, Irlandia, dan Jerman yang telah berhasil memanfaatkan pemangkasan PPN sebagai strategi untuk memperkuat daya beli pascapandemi.
Penghasilan Tidak Kena Pajak Perlu Disesuaikan
Tak hanya PPN, Bhima turut mengusulkan agar batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan untuk memberi ruang lebih besar pada penghasilan bersih masyarakat. Saat ini, ambang PTKP berada pada angka Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan.
“Nilai idealnya bisa dinaikkan menjadi Rp7 sampai Rp8 juta per bulan untuk mendukung kelas menengah yang juga membutuhkan stimulus fiskal,” ungkapnya.
Usulan Subsidi Upah
Bhima juga menyinggung pentingnya subsidi upah dalam menjaga konsumsi rumah tangga. Ia menilai bahwa insentif tersebut akan efektif jika besaran subsidi cukup signifikan.
“Bila subsidi yang diberikan hanya sekitar Rp600 ribu per bulan, pengaruhnya terhadap daya beli akan minim. Sebaiknya subsidi ditetapkan sekitar 30% dari upah, atau sekitar Rp1 juta bagi pekerja bergaji Rp3,5 juta,” jelasnya.
Dengan berbagai usulan insentif tersebut, Bhima berharap kebijakan yang diambil pemerintah dapat lebih inklusif dan berdampak nyata terhadap perekonomian nasional.(BY)