![]() |
Herman Koto dengan usaha RM Citra Minang di Kota Lhokseumawe, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD) (foto.saco) |
Lhokseumawe - Tak ada kesuksesan yang instan. Herman Koto, perantau asal Minang, membuktikan bahwa kerja keras di balik dapur selama 11 tahun mengantarnya menjadi pemilik Rumah Makan Citra Minang yang kini dikenal luas di Kota Lhokseumawe, dan Aceh Utara, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD).
Dari cuci piring, belajar racikan bumbu, hingga kini mempekerjakan belasan karyawan lintas daerah. Ini kisah tentang kegigihan, keberanian, dan cinta akan cita rasa ranah Minang.
Tak banyak orang yang dengan rendah hati memilih jalan sunyi di balik dapur, demi ilmu dan masa depan. Tapi itulah yang dilakukan Herman Koto, lelaki Minang kelahiran 1967 asal Sitalang, Batu Kambiang, Lubuak Basuang, Agam, Sumatera Barat.
Herman Koto memilih merantau ke Aceh sejak 1987, dan menapaki jejak kesuksesan bukan dari depan meja kasir atau pelayan restoran, melainkan dari belakang. Setidaknya dari tempat yang jarang disorot. Yakni dapua rumah makan.
Berawal dari sopir pengantar barang, Herman mulai merintis mimpi tanpa tergesa. Ia memutuskan bekerja sebagai pencuci piring di rumah makan. Bukan keterpaksaan, tetapi karena strategi.
“Kalau di belakang, kita bisa belajar semuanya. Dari bagaimana cara motong ayam, manumbuak lado, sampai meracik bumbu yang bikin lidah sado urang bergoyang, apalagi rang Minang,” kisahnya berawal kepada Wartawan fajarsumbar.com, di Rumah Makan miliknya, pada Sabtu (17/5/2025).
Selama 11 tahun, ia bergelut dengan kompor, uap panas, dan tengkingan atasan. Tapi Herman Koto dengan telanten sabar. Karena, ia tahu apa yang sedang ia tuai adalah pengalaman dan keahlian.
Herman Koto percaya, kerja keras tak akan mengkhianati hasil. Dan terbukti, pada 2021, ia akhirnya mendirikan Rumah Makan Citra Minang di Baphat Timur, Kota Lhokseumawe. Tepatnya di tepi Jalan Raya Medan–Banda Aceh.
Dengan bendera kuliner khas Minang, rumah makan ini kini memperkerjakan 15 orang dari berbagai suku antara lain Minang, Jawa, dan Aceh.
“Kami ingin jadi tempat yang menyatukan rasa dan budaya. Masakan Minang, tapi pelayanannya ramah nusantara,” katanya sambil tersenyum rinyai.
Kesuksesan ini bukan semata rejeki, tapi buah dari kesabaran panjang. Bahkan pasca tsunami Aceh 2004, saat ditawari pekerjaan tetap dengan gaji menggiurkan di Banda Aceh, Herman menolak dengan halus. “Saya sudah punya mimpi besar. Saya mau buka usaha sendiri,” kenangnya.
Kini, selain rumah makan, Herman juga mengelola usaha Mie Pangsit dan minuman ringan di toko tak jauh dari RM Citra Minang. Pada tempat usaha Mie Pangsit dipercayakan kepada Hendra asal Manggopoh, Lubuak Basuang yang telah beristerikan orang Aceh.
Herman Koto bersama istri asal Sigli, ia membesarkan tiga anak. Yaitu si sulung membantu sebagai kasir, yang kedua bertugas di Polres Subulussalam, dan si bungsu sedang kuliah di Universitas Malikussaleh.
Herman tak pernah lupa kampung halaman. Meski telah “tergadai” menikahi wanita Aceh, ia selalu menyempatkan pulang kampung tiap tahun di bulan baik. Tahun 2018 lalu, Herman dan keluarganya mendapat rezeki bisa menunaikan ibadah haji. Ini salah satu buah lain dari usaha yang diberkahi.
“Kuncinya sabar, jujur, dan jangan cepat menyerah. Kalau memang niat baik, pasti Allah bantu,” tutup Herman Koto mengakhiri bincang-bincang dengan awak media ini, sambil menatap etalase rumah makan yang tak pernah sepi dari pelanggan.(saco)